Larangan Ekspor Nikel Berlaku Desember 2019, Penambang Lokal Terancam

0

LensaMedia.id – Pemerintah akhirnya secara resmi memutuskan untuk mempercepat larangan ekspor nikel ore pada akhir Desember 2019. Peraturan ini diberlakukan lebih cepat dari rencana sebelumnya yang seharusnya memberlakukan larangan ini pada tahun 2022. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignasius Jonan, peraturan ini secara otomatis menegaskan bahwa nikel ore kadar dibawah 1,7% sudah tidak diperkenankan lagi diekspor mulai akhir Desember 2019.

“Nikel itu sejak lama yang kadarnya diatas 1,7% sudah tidak boleh (ekspor) sudah lama, pemerintah ijinkan (ekspor) sejak 2017 kadar dibawah 1,7% boleh. Ini kita batasin sampai akhir Desember, sesuai arahan bapak presiden,” kata Jonan di Kampus Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pada Jumat (30/08/2019).

Permasalahan yang paling krusial saat ini adalah jika nikel berkadar 1,7 persen ini dilarang ekspor, maka darimana para pengusaha tambang lokal bisa memperoleh modal untuk melanjutkan progress pembangunan smelter yang sudah berjalan saat ini? Otomatis, stok nikel berkadar dibawah 1,7 persen yang biasanya dijual oleh para pengusaha tambang lokal akan tidak bernilai lagi atau dijual dengan harga sangat murah ke pemilik smelter di Indonesia yang kebanyakan dimiliki oleh perusahaan asing.

Kita semua sepakat, investasi smelter di Indonesia memang sangat menguntungkan, itulah alasannya kenapa para pengusaha tambang lokal sepakat untuk secara kolektif membangun smelter dengan target diselesaikan pada tahun 2022. Tapi, jika tiba – tiba dipercepat seperti ini, dengan kondisi smelter milik penambang lokal masih dalam proses pembangunan, maka ini sama saja membunuh para pengusaha lokal dan sebaliknya malah menguntungkan pemilik smelter yang didominasi asing.

Pemerintah harus paham, harga jual nikel berkadar dibawah 1,7 persen di pasaran ekspor harganya mencapai 35 – 38 USD, sedangkan jika dijual ke pemilik smelter lokal sangat rendah sekali yakni sekitar 15 – 19 USD. Tentu selisih harga yang sangat jauh berkisar 20 USD ini akan membuat para pengusaha tambang lokal kian terancam, bahkan bisa bangkrut. Jika penghasilan perusahaan tambang lokal jatuh atau malah bangkrut, otomatis pendapat negara melalui Pajak PNBP juga akan berkurang drastis.

Sudah jelas, kebijakan ini lebih menguntungkan pelaku industri produksi tambang atau pemilik smelter karena memperoleh bahan baku murah atau yang menguasai sektor pertambangan dari hulu ke hilir. Sedangkan para pelaku usaha pertambangan lokal, pelan – pelan akan gulung tikar akibat kebijakan ini. Lantas, bagaimana dengan komitmen awal pemerintah yang ingin memajukan dan menguasai industri tambang di negeri sendiri, yang katanya mendukung pembangunan smelter lokal dengan target diselesaikan tahun 2022, jika kebijakannya ini justru menguntungkan pengusaha smelter yang kebanyakan dimiliki asing? Terlihat tidak konsisten bukan? (Red)

 566 total views,  1 views today